Tiada siapapun yang mengatakan mudah, untuk kembali ke garis awal. Terlewati dan tak berarti untuk menoleh. Seakan semu untuk dirangkai ulang. Menjadi halaman berdebu yang telah kunjung menguning untuk dibuka. Entah akan sampai kapan aku simpan di dalam hati patahan dan serpihan angan yang hancur.
Kau kembali ketika lelah telah jamahi asa, tertidur dampingi kelam yang kian mendalam. Bermimpi mengikuti alir harapan seakan menciptakan keindahan halusinasi dengan tulisan. Padahal kita tahu semua itu tak akan semudah mengurutkan alphabet karena kau lupa bahwa luka itu ada. Mengukir namamu butuh seutas batu dan aku harus menghapusnya dengan mati.
Sekarang kita berdiri di sebuah kerapuhan dunia yang kita ciptakan dengan akal. Dimana hati tidak lagi menjadi bagian intuisi, hingga mata menjadi buta tertelan ilusi. Ya, aku bodoh dan kau menuliskan lembaran-lembaran itu yang aku pun tidak bisa membacanya. Sesukamu menyebutku apa.
Tangan tidak lagi saling menggenggam. Kaki tidak lagi seiring menapak. Berlari tidak lagi untuk mengejar. Dan aku bernafas tidak lagi untuk melihatmu hidup. Membacamu saja sudah cukup, dan tidak untuk berada di dalamnya.
Aku, si pembaca buku tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar