Kau
adalah alasan aku mengerti bagaimana orang yang sesungguhnya baik.
Tapi kau juga yang menorehkan loreng di wajahmu yang terlihat suci.
Noda yang tak terhapus itu mungkin yang kau sembunyikan baik-baik
dari hadapanku. Perasaan ku tak cukup tuli dan buta untuk tidak
mengetahuimu. Setitik demi setitik aku tau tetesan getah yang tak
kunjung hilang dari kepribadianmu.
Bagaimana
bisa kau mengacungkan jari telunjukmu lalu kau arahkan ke wajahku
sementara kau menyilangkan kedua jari kirimu di belakang punggungmu?
Bagaimana kau bisa menghakimi seseorang sementara kau tau bahwa kau
adalah seorang terdakwa? Adilkah bagaiman kata-kata dari mulutmu yang
menuding segala yang kau anggap salah pada diriku sementara kau
mengatakan dalam hatimu bahwa kau salah? Aku tak lebih dari seseorang
yang kau sebut sebagai peluka ulung dirimu. Selalu kau buat aku
menyesal dengan apa yang aku lakukan.
Aku
benci bagaiman fakta membalikkan fiksi yang kau lukis di wajahmu. Iya, fiksi yang kian luntur terkena panasnya keabu-abuanmu. Sekarang aku
tahu wajah asli mu yang selama ini selalu membuat aku menangis merasa
bersalah betapa aku bodoh melukai seseorang yang teramat suci. Kau
lah topeng yang selama ini aku kecup keningnya, yang aku usap genang
air matanya dan yang selalu aku berikan senyuman saat kau butuh
penyemangat. Kau tak lebih jahat dari aku, tapi kau melukai orang
yang jahat sepertiku.
Menunggu
gelap senjaku yang kian memudar. Aku seperti menatap palsu cara
tertawamu yang biasanya membuat aku bersemangat. Ku harap kau bisa
membedakan kesenangan duniamu. Kini aku tersesat dalam penyesalan
yang tak akan kembali ke dalam genggamanku. Menyesal untuk semua
penyesalan yang selalu kau buat aku untuk memikirkannya. Mengertikah
kau sekarang bahwa kau tidak sebaik itu?
Ketika
kau tersadar, mungkin lekuk senyum bibir ini tidak lagi kau yang
menatapnya. Mungkin sudah enggan atau tak sudi untuk menjadikanmu
sebagai alasan bagaimana aku akan bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar