Selasa, 06 Oktober 2015

Sesal

Kau adalah alasan aku mengerti bagaimana orang yang sesungguhnya baik. Tapi kau juga yang menorehkan loreng di wajahmu yang terlihat suci. Noda yang tak terhapus itu mungkin yang kau sembunyikan baik-baik dari hadapanku. Perasaan ku tak cukup tuli dan buta untuk tidak mengetahuimu. Setitik demi setitik aku tau tetesan getah yang tak kunjung hilang dari kepribadianmu.

Bagaimana bisa kau mengacungkan jari telunjukmu lalu kau arahkan ke wajahku sementara kau menyilangkan kedua jari kirimu di belakang punggungmu? Bagaimana kau bisa menghakimi seseorang sementara kau tau bahwa kau adalah seorang terdakwa? Adilkah bagaiman kata-kata dari mulutmu yang menuding segala yang kau anggap salah pada diriku sementara kau mengatakan dalam hatimu bahwa kau salah? Aku tak lebih dari seseorang yang kau sebut sebagai peluka ulung dirimu. Selalu kau buat aku menyesal dengan apa yang aku lakukan. 
 
Aku benci bagaiman fakta membalikkan fiksi yang kau lukis di wajahmu. Iya, fiksi yang kian luntur terkena panasnya keabu-abuanmu. Sekarang aku tahu wajah asli mu yang selama ini selalu membuat aku menangis merasa bersalah betapa aku bodoh melukai seseorang yang teramat suci. Kau lah topeng yang selama ini aku kecup keningnya, yang aku usap genang air matanya dan yang selalu aku berikan senyuman saat kau butuh penyemangat. Kau tak lebih jahat dari aku, tapi kau melukai orang yang jahat sepertiku.

Menunggu gelap senjaku yang kian memudar. Aku seperti menatap palsu cara tertawamu yang biasanya membuat aku bersemangat. Ku harap kau bisa membedakan kesenangan duniamu. Kini aku tersesat dalam penyesalan yang tak akan kembali ke dalam genggamanku. Menyesal untuk semua penyesalan yang selalu kau buat aku untuk memikirkannya. Mengertikah kau sekarang bahwa kau tidak sebaik itu?

Ketika kau tersadar, mungkin lekuk senyum bibir ini tidak lagi kau yang menatapnya. Mungkin sudah enggan atau tak sudi untuk menjadikanmu sebagai alasan bagaimana aku akan bahagia. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar