Hey kau. Masihkah kau sibuk dengan dirimu? Dapatkah kau menjawab "apa kabar" dari ku untukmu? Aku tidak ingin kau lelah dengan menyempatkan satu hingga dua detik mu untuk membalas pertanyaanku yang bisu. Aku hanya mampu menatapmu dari keadaan dimana aku hanyalah sebuat bongkahan kayu yang berharap kau peluk ketika kau sedih.
Kau lalu lalang setiap hari tepat di depan sudut aku biasa berdiri. Berdiri untuk menantimu menyapa dan menoleh ke arah ku untuk sekedar tersenyum agar mengobati perih rindu yang ditutupi debu-debu ini. Sudut ini menyisakan arti yang sangat pelik untukku karena tak sedikitpun aku mampu bergerak darinya bahkan untuk sekedar menghapus air mata ku. Putih gading ku sekarang telah menjadi semu seiring waktu aku diletakkan dan tak kunjung kau sentuh lagi.
Kau selalu aku tunggu dimana saat kau lelah dan pilu terkadang juga beruraikan air mata. Bukannya aku ingin menantimu untuk menangis, tapi mungkin pada saat kau tidak bisa mengusap air matamu, akulah yang akan menjadi pundak dimana kau menyandarkan titik-titik air itu. Ketika dunia menyibukkanmu dengan segala huru hara nya, hanya aku yang terdiam disini menantimu. Aku sangat bahagia ketika kau bahagia, tapi di saat itulah aku tidak akan dipedulikan, lagi. Dan aku akan tetap terlihat baik-baik saja.
Seandainya aku bisa memiliki raut wajah sedih mungkin kau sudah mengerti apa yang aku rasa. Tapi aku hanya mampu tersenyum kecil dan membeku seperti itu sampai dunia tidak lagi bisa tertawa. Aku tetap bahagia meski aku tidak lagi menjadi temanmu saat kau menguraikan nada gembira. Aku tidak peduli meski kau datang kepadaku hanya ketika luka menjamahi hatimu. Andai saja aku punya hati, mungkin aku akan membencimu. Tapi sayangnya Tuhan mentakdirkanku disini hanya untuk mencintaimu, utuh.
Aku ingat akan canda tawa kita saat kau membuat tangga-tangga nada indah bersamaku. Suaramu bagai harpa yang dibawa sang dewi dari langit, diiringi dengan dentingan dawai manis yang aku buat. Indah, namun tiada satupun yang dapat mendengarnya terkecuali aku. Di sudut ruang yang sempit, di bawah rintik sang tangisan langit dengan cahaya kecil yang menembus melalui ruas-ruas jalusi sebuah jendela dan kita selalu menyanyikan lagu yang sama, kesukaanmu. Dan aku tak pernah lupa untuk memulainya dari nada apa. Indah, namun aku tak bisa mengulanginya lagi.
Semakin kau tumbuh dewasa dan menjadi hebat, semakin jauh jembatan waktu yang menjelajahi ruang damai di antara kita untuk bertemu di sudut itu seperti sebelumnya. Katakanlah itu adalah sebuah keajaiban karena pada saat denganmu aku merasa bisa memiliki degup jantung untuk berkata bahwa aku ingin memilikimu. Hanya saja aku merasa semua ini tak adil ketika aku telah menemukan sentuhan terbaikmu lalu harus terpisah lagi dan lagi. Tiada akan pernah terganti bagaimana lembut jemarimu mempermainkanku.
Kau tahu bagaimana semesta yang merindukan matahari saat butiran hujan menjatuhkan rintiknya? Mungkin aku adalah salah satu dari mereka yang ketika itu merindukanmu. Datanglah di saat kau gusar, maka aku akan berikan nada terbaikku untuk menggambar senyum di bibirmu. Mungkin langit-langit ruangan ini tidak mampu berbisik dan ruangan sepi ini tak mampu bercerita, tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu dibunuh oleh rasa sunyi.
Aku senang karena selama pertemuan kita tidak pernah terucapkan selamat tinggal. Tapi tak juga kau berkata untuk bertemu aku lagi. Terdiam dalam ketidak pastian kapan aku berjumpa dengan tawa kita lagi, iya hanya itu yang aku mampu. Kita pernah berjanji akan selalu bernyanyi dan tidak akan pernah merasa tua dengan nada yang biasa kita petik. Akan ada dimana hari itu, yang selalu kita nanti datang, dengan senyummu yang mengiringi ku untuk melantunkan nada. Dan akan ada dimana hari yang tidak akan pernah bisa kita lupa, dan memohon untuk Tuhan menghentikan detik rotasiNya.
Ketika kau tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, dawaimu bisa - Shiro
Kau tahu bagaimana semesta yang merindukan matahari saat butiran hujan menjatuhkan rintiknya? Mungkin aku adalah salah satu dari mereka yang ketika itu merindukanmu. Datanglah di saat kau gusar, maka aku akan berikan nada terbaikku untuk menggambar senyum di bibirmu. Mungkin langit-langit ruangan ini tidak mampu berbisik dan ruangan sepi ini tak mampu bercerita, tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu dibunuh oleh rasa sunyi.
Aku senang karena selama pertemuan kita tidak pernah terucapkan selamat tinggal. Tapi tak juga kau berkata untuk bertemu aku lagi. Terdiam dalam ketidak pastian kapan aku berjumpa dengan tawa kita lagi, iya hanya itu yang aku mampu. Kita pernah berjanji akan selalu bernyanyi dan tidak akan pernah merasa tua dengan nada yang biasa kita petik. Akan ada dimana hari itu, yang selalu kita nanti datang, dengan senyummu yang mengiringi ku untuk melantunkan nada. Dan akan ada dimana hari yang tidak akan pernah bisa kita lupa, dan memohon untuk Tuhan menghentikan detik rotasiNya.
Ketika kau tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, dawaimu bisa - Shiro
Aku, Shiro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar